Sabtu, 26 Maret 2016
Pemangku Kepentingan DAS TULANG BAWANG
PERSEPSI PARA PEMANGKU KEPENTINGAN TERHADAP PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TULANG BAWANG
(Stakeholders' Perception of Management Tulang Bawang Watershed)
Cecilinia T. L.1), Intan Fajar S. 2), Lely Pratiwi S.3)
Jurusan Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung
Jalan Soemantri Brojonegoro No. 1 Bandar Lampung, Telp: (0821) 63114595
E- mail : pratiwisimanjorang@gmail.com
ABSTRACT
Management of watershed, in practice, very often has to face conflicts of interest with the land use which is more sectorally oriented. Therefore, it is necessary to make coordination and common perceptions of various stakeholders to achieve best management of forest landscape in a watershed that integrates ecological, social, and institutional factors in its implementation. This study aims to analyze the perception of the stakeholders regarding the management of watershed, and the factors that influence the stakeholder perceptions appropriate management watershed basic . The study was carried out at Tulang Bawang watershed in Lampung Province. The results showed that according to stakeholder's perception in Tulang Bawang, from the 4 factors in watershed management: ecology, economy, social and institution, ecology aspect has the highest priority (38%). Micro climate was considered to be the most important indicator (28%) from ecological aspect. Meanwhile, the in creasing income of the people have apercentage of 36% of the economic aspects, resolution of land conflicts 39% of the social aspects, and the availability of funds 30% of the institutional aspects. Their perceptions are affected by area condition, their institutional background, and economic motivation. Knowledge of multi stakeholder perception is important for designing system and policies of forest landscape management that accommodate multi stakeholder needs towards sustainable forest landscape management.
Keywords: Stakeholders' perception, watershed management, forest
ABSTRAK
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada prakteknya seringkali mengalami konflik kepentingan dengan pemanfaatan lahan yang lebih berorientasi secara sektoral. Dengan demikian diperlukan koordinasi dan kesepahaman persepsi berbagai pihak terkait untuk mewujudkan pengelolaan yang optimal yang mengintegrasikan antar faktor ekologi, sosial, dan budaya dalam implementasinya. Penelitian ini bertujuan: menganalisis persepsi para pemangku kepentingan tentang pengelolaan hutan dalam suatu DAS dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi para pemangku kepentingan tersebut dalam pengelolaan hutan dalam suatu DAS sesuai prinsip pengelolaan jasa lingkungan.. Penelitian dilakukan di DAS Tulang Bawang Propinsi Lampung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari empat faktor: ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan dalam pengelolaan DAS, menurut persepsi stakeholder DAS Tulang Bawang, faktor ekologi merupakan prioritas tertinggi dengan persentase 38%. Iklim mikro merupakan indikator terpenting dengan persentase 28% dari aspek ekologi tersebut. Sementara itu, meningkatkan pendapatan masyarakat memiliki persentase 36% dari aspek ekonomi, penyelesaian konflik lahan 39% dari aspek sosial, dan ketersediaan dana 30% dari aspek kelembagaan. Persepsi tersebut dipengaruhi oleh kondisi wilayah, latar belakang pendidikan, dan dorongan ekonomi. Pengetahuan tentang persepsi para pihak sangat penting dalam rangka merumuskan sistem dan kebijakan pengelolaan lanskap hutan yang mengakomodir kebutuhan para pihak sehingga terwujud pengelolaan hutan yang lestari.
Kata Kunci : pemangku kepentingan, pengelolaan DAS, hutan
I. PENDAHULUAN
Pengelolaan jasa lingkungan tata air menjadi hal penting untuk diterapkan. Menurut Nurrochmat bahwa pemanfaatan jasa lingkungan hutan yang diperkirakan berpeluang untuk direalisasikan dalam waktu dekat adalah fungsi tata air. Untuk melakukan pengelolaan jasa lingkungan tata air yang baik, efektif dan efisien maka diperlukan berbagai aturan atau regulasi. Regulasi yang secara khusus mengatur mengenai jasa tata air belum ada, namun sebagai acuan awal digunakan Permenhut No. P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Kriteria, dan Standar Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Robbins dan Stephen (2003), menyatakan bahwa persepsi satu individu terhadap satu obyek sangat mungkin memiliki perbedaan dengan persepsi individu yang lain terhadap obyek yang sama. Perbedaan persepsi para pemangku kepentingan ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya dan dampak dari tujuan pengelolaan tersebut terhadap kondisi kehidupan. Perbedaan persepsi dan ini sering kali menghasilkan visi yang berbeda terhadap manajemen pada suatu area, dan seringkali memicu terjadinya konflik. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan suatu analisis untuk mengidentifikasi semua yang memiliki kepentingan terhadap suatu permasalahan dan kebijakan. Dengan demikian, akan terbangun pandangan strategis para pelaku dan lembaga serta hubungan antara yang berbeda dan permasalahan yang menjadi kepedulian mereka. Analisis persepsi ini merupakan hal yang penting, karena pada akhirnya setiap kegiatan akan tergantung pada terpilih dengan siapa mereka akan bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan (Asdak, 2007).
Daerah Aliran Sungai Tulang Bawang merupakan salah satu DAS kritis yang memerlukan penanganan serius dalam pengelolaan hutan akibat alih fungsi lahan yang mendominasi baik dalam maupun luar kawasan hutan. Berdasarkan permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan: menganalisis persepsi para pihak tentang pengelolaan hutan dalam suatu DAS, dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi para pihak dalam pengelolaan hutan dalam suatu DAS.
Dalam pengelolaan DAS tersebut perlu memperhatikan prinsip Pengelolaan Jasa Lingkungan yaitu, sukarela, kondisional, realistik dan pro poor.
II. BAHAN DAN METODE
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di DAS Tulang Bawang di Provinsi Lampung pada Bulan Maret sampai dengan Oktober 2011. Penentuan lokasi ini berdasarkan bahwa DAS Tulang Bawang merupakan DAS yang pada taraf nasional dikategorikan sebagai DAS prioritas 1 karena luasnya lahan kritis pada DAS tersebut dan banyak terdapat bangunan-bangunan penting seperti bendungan, PLTA, dan sarana irigasi teknis.
B. Metode Penelitian
1. Tahapan Pelaksanaan/ Rancangan Penelitian
Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara secara terstruktur, dimana butir - butir informasi yang diperlukan dari responden telah diidentifikasi terlebih dahulu dan dituangkan dalam bentuk kuesioner. Selain itu, data juga diperoleh melalui (FGD) dengan para pemangku kepentingan dalam pengelolaan DAS Tulang Bawang. Berbagai sektor yang berperan dalam pengelolaan DAS dan mempengaruhi manajemen lanskap di lokasi penelitian Lampung adalah meliputi Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Way Seputih Sekampung, Dinas Kehutanan tingkat propinsi dan kabupaten yang termasuk dalam wilayah DAS Tulang Bawang, Balai Besar Wilayah Sungai Mesuji Tulang Bawang, Dinas Pengairan dan Pemukiman, Universits Lampung, Forum DAS, Dinas Pertanian Lampung, Dinas Perkebunan, Bappeda, dan Badan Koordinasi Penyuluh.
2. Analisis Data
Analisis yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada tujuan yang akan dicapai:
1.Untuk mengetahui persepsi multipihak dalam manajemen lanskap hutan digunakan pendekatan (AHP). Analisis AHP digunakan untuk melakukan analisis pembobotan atau prioritas berdasarkan kepentingan relatif antar level. Alat yang digunakan untuk pengumpul an data nilai berupa daftar pertanyaan/kuisioner. Hasil penilaian dari semua responden diolah menggunakan software expert choice.
2. Untuk faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi para pihak dalam manajemen lanskap hutan digunakan analisis deskriptif kualitatif. Faktor-faktor yang dianalisis meliputi faktor biofisik, pendidikan, mata pencaharian atau pekerjaan, dan kebijakan yang terkait dengan manajemen lanskap hutan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Para responden yang umumnya bekerja di instansi pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan DAS, menganggap bahwa upaya mewujudkan kelestarian pengelolaan hutan dalam suatu DAS sangat tergantung dukungan dana dan kesiapan institusi untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat menjaga kelestarian hutan dalam suatu DAS. Hal ini masuk kedalam prinsip Pengelolaan Jasa Lingkungan yaitu Kondisionalitas yaitu aktivitas yang disepakati.
Pada aspek sosial, indikator penyelesaian konflik lahan memiliki bobot nilai tertinggi sebesar 39%. Diikuti oleh indikator adat dan kebudayaan masyarakat sebesar 38%, dan pelibatan partisipasi masyarakat sebesar 23%. Pada umumnya responden menganggap bahwa untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dalam suatu DAS, penyelesaian konflik kepastian kawasan atau lahan menjadi hal yang sangat penting. Banyak terjadinya konflik lahan di beberapa daerah di Lampung dinilai responden merupakan salah satu penyebab kegagalan upaya mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dalam suatua wilayah DAS.
Pada aspek ekonomi, indikator yang memiliki bobot nilai tertinggi adalah pendapatan masyarakat sebesar 36%, diikuti oleh indikator penyerapan tenaga kerja sebesar 29%, nilai guna lahan sebesar 26%, dan akses pasar sebesar 19%. Hal ini menunjukan bahwa responden mengharapkan bahwa pengelolaan hutan dalam suatu wilayah DAS harus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Aspek ekologi menjadi prioritas utama karena berdasarkan hasil identifikasi masalah, ditinjau dari stakeholder fisik isu pokok dan permasalahan di DAS Tulang Bawang antara lain adalah:
a. Degradasi hutan dan lahan kritis semakin luas.
Berdasarkan fungsinya, hulu DAS seharusnya didominasi oleh penutupan vegetasi hutan yang merupakan elemen penting dalam suatu DAS. Rusaknya hutan akan secara langsung menurunkan fungsi hidroorologis DAS tersebut. Alih guna lahan hutan menjadi penggunaan lahan lain menimbulkan berbagai dampak lingkungan seperti meningkatnya lahan kritis, aliran permukaan dan erosi, sedimentasi, banjir dan kekeringan, longsor, fluktuasi debit sungai, menurunnya daerah perlindungan keragaman hayati, menurunnya kualitas air, dan lain-lain. Data menunjukkan bahwa laju kerusakan hutan terus meningkat dari tahun ke tahun akibat perambahan hutan, illegal logging, dan usaha tani tanpa memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air. Kerusakan hutan di Provinsi Lampung khususnya pada hutan lindung adalah sebesar 70%, taman nasional 45%, dan hutan produksi sebesar 60% (BPDAS Way Seputih Sekampung, 2010).
b. Meningkatnya erosi dan sedimentasi
Komunitas tumbuhan hutan dengan berbagai strata tajuk, berbagai bentuk dan ukuran daun, serta percabangan pohon yang bervariasi, berdampak positif terhadap aliran permukaan dan erosi. Sebagian air hujan akan tertahan tajuk pohon (air intersepsi) dan energi kinetik air hujan tidak terlalu besar sehingga tidak merusak butir-butir tanah (permukaan tanah). Hal ini karena air hujan yang sampai ke permukaan tanah telah melalui daun, ranting, cabang, atau batang pohon sehingga dapat berinfiltrasi secara perlahan dan dalam jumlah yang besar dan menurunkan laju aliran permukaan dan erosi. Menurunnya fungsi hidroorologis hutan memberikan dampak lanjutan berupa besarnya fluktuasi debit air sungai antara musim hujan dan musim kemarau, serta meningkatnya erosi dan sedimentasi. Debit Way Tulang Bawang pada musim hujan maksimum sebesar 1.757,3 m /dtk dan pada musim kemarau minimum sebesar 28,15 m /dtk dengan rasio Q sebesar 62,42. Asdak (2007) menyatakan apabila rasio Qmax/Qmin > (30) menunjukkan suatu DAS telah mengalami kerusakan.
c. Meningkatnya frekuensi banjir, kekeringan, dan tanah longsor
Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 256/KPTS-II/2000, luas kawasan Hutan di Provinsi Lampung adalah 1.004.735 ha atau sebesar 30,34% dari total luas Provinsi Lampung. Luasan ini berkurang dibandingkan dengan penetapan di tahun 1991 dan tahun 1999. Sebagian besar kawasan hutan tersebut telah rusak atau telah beralih fungsi sehingga menimbulkan persoalan banjir di musim hujan dan kekeringan dimusim kemarau.Luas hutan di DAS Tulang Bawang saat ini hanya 2,78% dari total luas DAS yang masih memiliki vegetasi hutan. Di lain pihak, DAS ini merupakan sumber air yang sangat penting bagi bendungan Way Rarem dan Way Besai. Kedua bendungan ini mengairi areal persawahan di 7 kabupaten dan menghasilkan listrik.
Berkurangnya luasan hutan berdampak pada berkurangnya daerah tangkapan air pada musim hujan yang mengakibatkan munculnya banjir. Sebaliknya, padamusim kemarau akibat infiltrasi terganggu pengisian air tanah menjadi terganggu. Hal ini mengakibatkan pada musim kemarau lahan menjadi cepat kering dan mengganggu pertumbuhan tanaman. Salah satu faktor pendorong terjadinya kerusakan hutan di DAS Tulang Bawang adalah masih banyaknya masyarakat miskin di sekitar kawasan hutan yang menggantungkan hidupnya dengan memanfaatkan lahan kawasan hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan perkebunan. Inilah sebabnya pengetahuan tentang DAS atau kebutuhan para pihak yang terkait dalam pengelolaan lanskap hutan diperlukan khususnya dalam rangka mewujudkan pengelolaan lanskap hutan yang lestari.
Menurut Mitchell (1997), konflik lahan merupakan suatu ciri yang menjadi pusat perhatian dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk DAS selain perubahan, kompleksitas, dan ketidakpastian. Hal tersebut karena sumberdaya alam DAS menyediakan berbagai kepentingan dalam pemenuhan kebutuhan manusia mulai dari kebutuhan bahan makanan, air bersih, kayu dan berbagai jasa lingkungan yang mempunyai arti sangat penting.
Konflik antar sektor/kegiatan merupakan salah satu permasalahan yang harus mendapat perhatian dalam pengelolaan suatu DAS. Potensi munculnya konflik dipicu juga oleh adanya perbedaan persepsi, tujuan, nilai dan kepentingan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam DAS. Oleh karena itu, dalam konteks pengelolaan DAS koordinasi antar sektor, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta, masyarakat dan perguruan tinggi menjadi sangat penting. Regulasi atau kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan sumberdaya alam sangat mempengaruhi perubahan lanskap hutan dalam suatu DAS. Kebijakan yang bersifat insentif terhadap pemanfaatan sumberdaya hutan akan meningkatkan atau mempertahankan keberadaan hutan, sedangkan kebijakan yang bersifat disinsentif terhadap pengelolaan sumberdaya hutan akan mempercepat perubahan lahan hutan dalam suatu wilayah DAS.
IV. KESIMPULAN
A. KESIMPULAN
Kesimpulan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Persepsi di DAS Tulang Bawang yang memprioritaskan aspek ekologi 39%, kelembagaan 25%, sosial 20% dan ekonomi 16% dalam pengelolaan DAS, menunjukkan para pihak terhadap minimnya luas hutan di wilayahDAS Tulang Bawang (sekitar 3%) dari luas wilayahDAS.
2. Ada kekhawatiran dari bahwa dengan luas hutan yang hanya sekitar 3% akan mampu menjamin fungsi hutan terutama sebagai penyangga kehidupan.
3. Untuk meningkatkan fungsi ekologi hutan di DAS Tulang Bawang diperlukan upaya rehabilitasi hutan yang membutuhkan dukungan dana yang relatif besar, penguatan kapasitas institusi pengelola hutan serta penegakan peraturan dalam pengelolaan hutan.
4. Persepsi yang lebih fokus pada permasalahan ekologi dalam pengeloaan DAS Tulang Bawang antara lain dipengaruhi oleh tingkat pemahaman para responden akan pentingnya kelestarian hutan, kondisi hutan yang ada di DAS Tulang Bawang yang ada saat ini dan adanya Kebijakan Pemda Propinsi Lampung untuk mewujudkan program konservasi dan menuntut dukungan .
B.SARAN
1. Adanya kecenderungan penggunaan dan konversi lahan yang mengancam kelestarian lingkungan di DAS Tulang Bawang dapat diatasi melalui peningkatan pemahaman seluruh terhadap pentingnya menjaga kelestarian fungsi ekologi, ekonomi, sosial dan kelembagaan dalam pengelolaan suatu DAS. Peningkatan pemahaman seluruh dapat dilakukan melalui kegiatan penyuluhan maupun pembinaan yang intensif terhadap seluruh.
2. Selain itu, upaya mengatasi kecenderungan penggunaan dan konversi lahan hutan menjadi penggunaan lainnya dapat dilakukan melalui kegiatan penegakkan hukum/aturan, yang juga meliputi penguatan dan penegakkan nilai-nilai atau aturan tradisional (adat), serta penguatan dukungan pendanaan untuk kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kelestarian hutan dalam suatu wilayah DAS.
3. Tekanan terhadap wilayah hutan untuk pembangunan sektor di luar kehutanan, seperti pertanian, perkebunan dan pertambangan serta pemukiman perlu diatasi melalui pengembangan hutan tanaman rakyat yang memberikan insentif ekonomi serta akses bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan kehutanan.
4. Perlu dilakukan pendekatan sosial budaya untuk pemberdayaan kearifan lokal dan mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap hutan.
5. Diperlukan penerapan iptek untuk memperbaiki sumberdaya hutan dan lahan kritis serta teknologi produksi berkelanjutan pada kawasan budidaya.
6. Perlu dibangun kerjasama antara mitra terkait yang meliputi pemerintah pengusaha, perguruan tinggi, LSM dan masyarakat terkait dengan upaya pemulihan DAS Tulang Bawang.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen dan asisten dosen yang memberikan ilmu tentang prinsip pengelolaan jasa lingkungan sehingga memudahkan penulis dalam menyelesaikan paper ini.
DAFTAR PUSTAKA
Alviya, I., Salminah, M., Arifanti, B. P., Maryani, R., Syahadat, E. 2012. Persepsi para pemangku kepentingan terhadap pengelolaan lanskap hutan di Daerah Aliran Sungai Tulang Bawang. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. 9 : 171 - 184
Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press.
Robbins dan Stephen. 2003. Perilaku Organisasi. Gramedia. Jakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar