Kamis, 15 April 2021

KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN PARIWISATA ALAM DI KAWASAN HUTAN-TUGAS KEBIJAKAN MAGISTER KEHUTANAN USU 2021


KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN PARIWISATA ALAM DI KAWASAN HUTAN

 

 

Dosen Penanggung Jawab

Dr. Agus Purwoko, S.Hut.,M.Si,

 

 

Oleh

Lely Pratiwi S            207055011

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

PROGRAM STUDI KEHUTANAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2021

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR ISI

 

 

 

Judul……………………………………………………………………………1

 

 

Daftar Isi……………………………………………………………………… 2

 

BAB I Pendahuluan……………………………………………………………3

 

 

BAB II Gambaran Umum……………………………………………………..5

 

 

BAB III Pembahasan………………………………………………………….8

 

 

BAB IV Kesimpulan dan Saran ………………………………………………11

 

 

Daftar Pustaka…………………………………………………………………12

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I PENDAHULUAN

 

 

 

 

Pariwisata alam merupakan salah satu manfaat yang dapat diperoleh dari pengembangan kawasan hutan. Dasar hukum pengembangan kawasan hutan sebagai pariwisata alam yang sesuai dengan prinsip kelestarian adalah UU No.5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hutan dan Ekosistemnya serta UU No. 9 tahun 1990 tentang Kepariwisataan dimana pemanfaatan kawasan hutan tersebut diarahkan kepada kegiatan pengembangan pemenuhan jasa pariwisata alam bukan kepada eksploitasi. Kawasan hutan yang memiliki potensi wisata alam dengan daya tariknya yang tinggi merupakan potensi yang bernilai jual tinggi sebagai objek wisata, sehingga pariwisata lam dikawasan hutan layak untuk dikembangkan.

 

Pengelolaan pengembangan kepariwisataan nasional dapat dicapai atau diperoleh jika terdapat sinergi dan keterpaduan antara kekuatan pemerintah, masyarakat, media massa dan pengusaha paiwisata (Syahadat, 2006). Pengelolaan sumberdaya alam yang hanya berorientasi ekonomi akan membawa efek positif secara ekonomi tetapi menimbulkan efek negatif bagi kehidupan umat manusia. Keberagaman kekayaan sumber daya alam Indonesia  seperti potensi alam, flora, fauna, keindahan alam dan bentuknya memiliki daya tarik untuk dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Daya tarik tersebut mendorong pemerintah untuk mengembangkan industri pariwisata.

 

Pemanfaatan pariwisata dengan jasa lingkungan semakin banyak diminati masyarakat seperti taman wisata pegunungan, wisata pantai, danau, hutan lindung, cagar alam dan wisata alam menjadi objek wisata yang bernilai dan menarik. Akan tetapi pengembangan di wilayah tersebut harus tetap menggunakan kaidah kaidah. Senada dengan UU No 32 tahun 2009, menyebutkan bahwa pengelolaan  dan perlindungan lingkungan hidup merupakan upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi oerencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.

 

Kebijakan pemerintah daerah dalam membangun pariwisata sangat penting peranannya dalam menunjang keberhasilan pembangunan pariwisata nasional. Perkembangan dan pertumbuhan pariwisata perlu diantisipasi agar perkembangannya tetap pada jalur dan daya dukungnya. Pembangunan dalam wilayah objek wisata akan memberikan sumbangan yang sangat besar apabila dikelola secara profesional, karena sumbangan bagi daerah yang bersangkutan, pariwisata alam dapat memacu pertumbuhan sekitar objek wisata tersebut.

 

Berbagai potensi wisata yang ada di kawasan hutan sudah seharusnya menjadi objek wisata unggul Indonesia. Pengelolaan dang pengembangan masih dalam kendali pemerintah dalam hal insentif, yang dalam perkembangannya dengan perizinan pemerintah kemudian pihak swasta dan masyarakat dapat mengelolanya. Perlu adanya upaya pengembangan pariwisata alam agar lebih optimal dengan kebijakan kebijakan yang dibuat secara jelas dan bersinergi.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

II. KONDISI UMUM

 

 

 

 

Konsep pengembangan berkelanjutan, dengan kondisi potensi berbasis alam (pegunungan, hutan, sungai, keunikan geologis dan danau) an budaya yang mulai terancam kelestariannya. Pembangunan pariwisata alam sudah saatnya mengacu pada pengembangan wilayah yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat dan berorientasi pada prinsip keberlanjutan.

 

Sebagai contoh dalam pengebangan wilayah pariwisata Kabupaten Tapanuli Utara, sangat penting untuk dilakukan integrasi dan sinergi dengan daerah lain terutama kabupaten – kabupaten yang berada di wilayah danau Toba. Salah satu alasan dari sisi spasial adalah Kabupaten Tapanuli Utara merupakan bagian dari Kawasan Strategi Pariwisata Nasional (KSPN) Toba sekitarnya. Berdasarkan keputusan riparnnas 2010 – 2025 kabupaten tersebut berada dalam kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional (KPPN) yang sama yaitu KPPN Toba dan sekitarnya (Simamora, 2016).

 

Pariwisata alam dikembangkan sesuai dengan permintaan masyarakat, wisatawan dan kecenderungan perkembangan pariwisata. Paket wisata diwilayah hutan memiliki daya tarik dan pasar tersendiri khusus pecinta petualangan. Tema pariwisata seperti jungle tracking dan wildlife conservation dapat memikat wisatawan tidak hanya menikmati keindahan alam tetapi juga diajak untuk turut serta membantu konservasi lingkungan (Simamora, 2016).

 

Usaha pengembangan pariwisata diharapkan mampu menjadi lokomotif dalam mendinamisir perekonomian daerah. Konsep pengembangan pariwisata diarahkan pada pengembangan keindahan alam dataran tinggi, dimana wisatawan selain dapat mendapatkan ketengan batin, keunikan budaya dan keindahan alam juga ikut berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan konservasi lingkungan.

 

Kawasan hutan yang rusak dikarenakan eksploitasi dan penebangan liar menyebabkan terjadinya longsor di beberapa kawasan hutan Indonesia. Pada dasarnya peristiwa tersebut merupakan peristiwa alami, akan tetapi akibat ulah manusia yang telah membabat kayu hutan, baik untuk pemanfaatan nilai ekonomis maupun untuk konversi lahan menjadi perkebunan, pemukiman, tambak maupun lokasi bangunan liar. Kerusakan hutan pegunungan mempunyai dampak negatif antara lain berkurangnya hasil hutan, semakin sulitnya memperoleh kayu yang berdiameter besar, sulitnya mendapatkan madu, getah kemeyan, rotan dan sumber air. Sapta pesona wisata terdapat beberapa yang berkaitan dengan lingkungan. Kebersihan, keindahan, kenyamanan merupakan isi sapta pesona wisata yang berkaitan dengan prinsip menjaga kelestarian lingkungan. Secara umum, kebijakan yang menjadi landasan umum dalam setiap membuat rancangan pengembangan kawasan pariwisata alam adalah menjaga agar tidak melampaui daya dukungnya.

 

Wisata alam dapat menjadi pilihan utama untuk pengembangan wisata di kawasan hutan, karena diyakini memiliki dampak yang kecil bagi lingkungan. Berbeda dengan wisata massal atau buatan seringkali aktivitas wisatanya merugikan bagi ekosistem lokal. Wisata alam memiliki nilai lebih dengan panorama alam yang di dalamnya terkandung makna dan upaya untuk membangun kesadaran pengunjung untuk mengenal pentingnya konservasi hutan dan lingkungan alam sekitarnya. Pengenalan dilakukan dengan proses penyadaran secara langsung maupun tidak langsung tentang pentingnya kelestarian alam untuk mendukung terwujudnya kepedulian semua lapisan dan golongan masyarakat yang sadar akan lingkungan (Munawar dan Nawir, 2018).

 

Peraturan Menteri Kehutanan No.22/Permenhut-II/2012, kegiatan wisata alam adalah kegiatan perjalanan atau sebagian perjalanan yang dilakukan secara sukarela bersifat sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di kawasan hutan. Secara konsepsi, wisata alam dapat dilihat sebagai bentuk pemanfaatan dan pengembangan pariwisata yang ditujukan untuk perlindungan dan konservasi alam serta dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial kepada masyarakat.

 

Konsep wisata alam memiliki dua prinsip yang harus dipenuhi, yaitu:

 

1.      Prinsip perlindungan alam

Prinsip konservasi yang berasaskan terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Prinsip yang penting dalam kegiatan wisata alam, karena keberlanjutan wisata alam  sangat ditentukan kelestarian alam itu sendiri.

2.      Prinsip pemberdayaan masyarakat

Prinsip yang mengutamakan masyarakat lokal sebagai pelaku utama dalam pembangunan wisata alam. Pembangunan ekonomi kerakyatan dapat menjadi landasan pembangunan untuk merumuskan pemanfaatan dan pengembangan pariwisata alam.

 

Selain itu, terdapat tiga aspek penying dalam pengembangan pariwisata dalam kawasan hutan, yaitu :

1.      Tersedianya sarana dan infrastruktur yang memungkinkan wisatawan tidak melakukan hal hal yang tidak terpuji seperti vandalisme, dapat dicegah dengan memberikan edukasi dan pengawasan.

2.      Mendidik pengunjung, masyarakat sekitar dan pengelola untuk ikut melestarikan hutan.

3.      Meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar wisata untuk menghindari kecemburuan sosial terhadap pelaku wisata dan tidak mengganggu kawasan hutan tersebut.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III ANALISIS DAN PEMBAHASAN

 

 

 

Peraturan Menteri Kehutanan No 47 Tahun 2013 tentang Pedoman, Kriteria da Standar Pemanfaatan Hutan di Wilayah tertentu pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi, dalam pasal 6 disebutkan bahwa salah satu bentuk pemanfaatan hutan lindung dan produksi adalah pemanfaatan jasa lingkungan. Salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana disebut pada pasal 6 disebut dalam bentuk wisata alam. Wilayah tertentu antara lain adalah wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum menarik bagi pihak ketiga untuk mengembangkan pemanfaatannya berada diluar areal ijin pemanfaaatan dan penggunaan kawasan hutan. Aturan Permen No 47 juga menyebut pengelolaan jasa lingkungan sepenuhnya menjadi kewenangan Kesatuan Pengelolaan Hutan baik lindung maupun produksi.

 

Peraturan perundangan lain yang mengatur tentang pemanfaatan jasa lingkungan, masyarakat dapat mengajukan pemanfaatannya sebagaimana tertuang dalam peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Pasal 51 Permen LHK tersebut menyebutkan bahwa pemanfaatan jasa lingkungan dalam bentuk wisata alam dapat dilakukan baik dalam hutan lindung maupun hutan produksi sesuai dengan potensi yang dimiliki hutan tersebut.

 

Posisi kritis dari kebijakan pengembangan pariwisata alam adalah tingkat implementasi di wilayah lokal. Di tingkat lokal jasa penyediaan wisata dan permintaan bertemu.  Dalam pengembangan wisata dihutan terdapat 4 instansi yang berwenang dalam pengelolaan dan membuat kebijakan perundang – undangan tengtang wisata. Kementerian tersebut meliputi : Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pariwisata, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Perikanan dan Kelautan (Nasution et all, 2018).

 

Berbagai regulasi tentang kepariwisataan masih terdapat perbedaan tumpang tindih antar kebijakan baik tujuan maupun kewenangan pariwisata. Kejelasan tujuan dan ruang lingkup dalam pengatura perundangan wisata alam perlu dilakukan secara komprehensif dan terstruktur sehingga dinamika substansi yang terkandung dalam undang – undang tersebut tidak bersifat parsial. Dalam pembangunan wisata, kebijakan dan peraturan ekowisata di Indonesia menjadi sangat penting untuk dikaji dan dianalisis sebagai bentuk kesempurnaan regulasi menuju implementasi pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan.

 

Pemerintah mempunyai kepentingan untuk memperoleh pendapatan negara melalui berbagai pajak dan retrebusi dari suatu kegiatan pengusahaan hutan, namun demikian kebutuhan akan pengumpulan pendapatan negara melalui pajak dan retrebusi tersebut tentu tidaklah menjadi penghalang bagi terwujudnya suatu pengusahaan hutan yang terintegrasi sesuai dengan sifat dna kondisi ekologi suatu hutan yang dimana satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. (Darussman et all,2013).

 

Peran Pemerintah dalam penyediaan anggaran untuk modal usaha, promosi wisata, sarana dan prasarana maupun akses jaringan kerjasama usaha berpengaruh nyata erhadap efektivitas program HKm berbasis wisata alam. Berdasarkan Perdirjen PSKL Nomor P.2/PSKL/SET/KUM.1/3/2017 tentang Pedoman Pembinaan, Pengendalian dan Evaluasi Perhutanan Sosial, pemerintah pusat berperan dalam penyelenggaraan pembinaan sedangkan pemerintah provinsi berperan dalam memfasilitasi pembinaan HKm dimaksud (penyediaan anggaran modal usaha, promosi, sarpras maupun akses jaringan kerja sama).

 

Pemerintah pusat perlu meningkatkan perannya dalam penyediaan anggaran usaha dan sarpras, sertapeningkatan kapasitas penyuluh kehutanan. Adapun pemerintah provinsi lebih kepada pendampingan, pelatihan, promosi usaha wisata bagi kelompok HKm dan membangun komunikasi yang intensif dengan sektor pariwisata dan pemerintah desa. Lebih lanjut, peran pembinaan ini harus dikoordinasikan agar berjalan secara sinergis antar jenjang pemerintahan. Oleh sebab itu, diperlukan komitmen (Meta et al. 2018) dan dukungan anggaran yang optimal. Peran pemerintah sebagaimana diatur dalam peraturan tersebut belum berjalan optimal. Keterbatasan anggaran dan SDM serta minimnya koordinasi antarsektor terkait menjadi kendala tersendiri. Berkenaan dengan hal tersebut, maka pemerintah perlu mengupayakan dukungan anggaran dari sumber pihak ketiga seperti dana Corporate Social Responsibility (CSR) maupun LSM, selain dari anggaran sektor kehutanan dan pariwisata. Oleh sebab itu, diperlukan penguatan komunikasi dan koordinasi antar sektor maupun antar jenjang pemerintahan. Dukungan tersebut harus diarahkan pada penguatan kelembagaan, kewirausahaan (Sanudin et al. 2016) dan pengelolaan hutan serta wisata alam bagi kelompok HKm.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

IV. KESIMPULAN DAN SARAN

 

 

Kebijakan pengembangan obyek wisata di dalam hutan harus dilakukan secara baik dan terencana yang memprioritaskan masyarakat lokal danmasyarakat pada    umumnya yang    didukung pemerintah    daerah    untuk   mewujudkan kesejahteraan  masyarakat. Dampak  sosial terhadap  masyarakat  adalah  perubahan

kondisi  wilayah  yang  tadinya  sepi  menjadi  ramai  yang  menyebabkan perubahan sosial masyarakat, perubahan lingkungan sosial. Dampak ekonomi masyarakat yang timbul  adalah  masyarakat memiliki  kemampuan  untuk  usaha  mandiri  dengan bantuan dari  pemerintahsehingga  kebocoran  ekonomi  dapat  dihindari. Dampak prilaku  masyarakat  yang  ditimbulkan  adalah  respon  pelaku  wisata  lokal  terhadap pelaku non lokal terjalin baik yang saling melengkapi dan saling menguntukkan. Maka dari itu diperlukan keharmonisasian kebijakan dan peraturan yang dibuat dari berbagai instansi yang terlibat dalam pengelolaan wisata di dalam hutan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Darussman D, Avenzora R dan Nitibaskara U Tb. 2013. Optimalisasi manfaat

hutan produksi melalui ekowisata. Bogor. IPB.

 

Meta Y, Basuni S, Rusdiana O. 2018. Implementation effectiveness of water

utilization permit grants In Gunung Halimun Salak National Park. Jurnal Media Konservasi. 23(1): 37-42.

 

Munawar A dan Nawir. 2016. Potensi wisata alam dalam kawasan hutan,

pemanfaatan dan pengembangan studi kasus di Kaabupaten Maros Sulawesi Selatan. Buku. Inti Mediatama.

 

Nasution RH, Avenzora R dan Sunarminto T. 2018. Analisis kebijakan dan

peraturan perundang – undangan ekowisata di Indonesia. Jurnal Media

Konservasi. 23 (1) : 9 – 17 .

 

Sanudin S, Awang SA, Sadono R, Purwanto RH. 2016. Perkembangan hutan

kemasyarakatan di Provinsi Lampung (Progress of community forest in Lampung Province). Jurnal Manusia dan Lingkungan. 23(2): 276-283.

 

Simamora RK dan Sinaga RS. 2016. Peran pemerintah daerah dalam

pengembangan pariwisata alam dan budaya di Kabupaten Tapanuli Utara. Jurnal Ilmu Pemerintahan dan sosial politik. 4 (1) : 79 – 96.

    

Syahadat. 2006. An Analysis of Gede Pangrango National Park (GNPN)

Management strategy for natural tourism development in forest area. Jurnal e-forda. 1 -27.