Rabu, 22 Maret 2017

ANALISIS HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN LUMAJANG PROV. JAWA TIMUR

ANALISIS HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR (Makalah Pengelolaan Hutan Rakyat) 
 Oleh Lely Pratiwi S

UNIVERSITAS LAMPUNG 
BANDAR LAMPUNG 
2016
 I. PENDAHULUAN 

 A. Latar Belakang Hutan rakyat merupakan hutan yang tumbuh di atas lahan yang dibebani hak milik (hutan hak) yang dikelola oleh rakyat. Pengelolaan hutan rakyat lestari adalah suatu sistem pengelolaan yang memperhatikan kelayakan ekologi/ lingkungan, kelayakan pendapatan (ekonomi), dan kelayakan sosial yang dapat menjamin dalam pemenuhan kebutuhan secara optimal dan berkelanjutan (Kholik, 2012). Kelayakan ekologi adalah memperhatikan kelangsungan fungsi ekologis dan lingkungan, dalam hal ini bahwa hutan merupakan tempat tumbuhnya flora dan fauna yang beraneka ragam yang harus dikelola dan dijaga agar tetap lestari, serta tanah yang ada harus dijaga agar tidak menyebabkan terjadinya erosi. Kelayakan ekonomis adalah bahwa hutan rakyat harus dapat menghasilkan nilai ekonomi (pendapatan) dan manfaat (perolehan) yang tinggi bagi masyarakat secara berkelanjutan baik hasil untuk masa kini maupun masa depan. Sedangkan kalayakan sosial adalah mengenai posisi dan fungsi hutan rakyat sebagai penyedia lapangan kerja bagi masyarakat sekitar, sehingga semakin banyak hutan rakyat yang ada, pekerjaan yang diberikan untuk masyarakat sekitar hutan akan bertambah pula. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan rakyat dan pemanfaatan lahan secara optimal adalah dengan usaha hutan rakyat berbasis Agroforestry, dimana di dalam lahan tersebut dimanfaatkan sebagian besar oleh pohon-pohon berkayu (pohon-pohon kehutanan) dan tanaman pertanian (sayur-sayuran, buah-buahan, dan komoditas pertanian lainnya) sebagai tanaman sela yang mengisi antar pohon kehutanan (Kholik, 2012). 

 Agroforestry merupakan suatu teknik yang memanfaatkan lahan secara hemat dan tepat guna dimana semua lokasi lahan dimanfaatkan sebaik mungkin tanpa ada yang tersisa sedikitpun. Seperti yang sudah diketahui bersama, bahwa pada pohon-pohon kehutanan terdapat aturan yang biasa disebut dengan jarak tanam pohon. Pada jarak tanam ini, suatu tegakan diatur jarak tanamnya antara pohon yang satu dengan yang lain guna menghasilkan tegakan yang normal, seimbang, dan lebih produktif. Pada hutan alam maupun hutan tanaman, biasanya diberikan jarak antar pohon ideal adalah sekitar 3 meter x 3 meter, sehingga hanya sebagian kecil saja lahan yang bisa dimanfaatkan. Hal tersebut memang baik dan sesuai aturan, karena dilakukan agar pohon tidak tertekan atau terhambat petumbuhannya dari pohon-pohon lain di sekitarnya. Akan tetapi, pemanfaatan lahan tidak dapat dilakukan secara optimal (Kholik, 2012). Berbeda halnya pada sistem agroforestry ini, semua lahan dimanfaatkan dengan sebaik mungkin, atau dengan kata lain tidak ada sedikitpun lahan yang tidak dipergunakan. Teknik yang digunakan pada agroforestry ini adalah pada selang antar jarak tanam pohon kehutanan yang ada dimanfaatkan dengan menanam tanaman pertanian, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Dengan demikian, beberapa keinginan masyarakat yang saling bertentangan yang selama ini terpikirkan di dalam memanfaatkan hasil hutan dapat tercapai dengan agroforestry yaitu di samping petani/ masyarakat dapat memanfaatkan sayur-sayuran dan buah-buahan yang ada di lahan hutan rakyat tersebut, petani juga dapat senantiasa menjaga keberlanjutan fungsi lahan/tanah secara lestari dalam hal unsur hara dan keberlanjutan hasil hutan (pohon berkayu) secara lestari dan optimal (Kholik, 2012). 

 B. Tujuan  pembuatan makalah adalah agar mahasiswa dapat mengetahui perencanaan, organisasi, pelaksanaan, pemanenan, dan pemasaran hutan rakyat di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. 


II. ISI 


 A. Perencanaan Hutan Rakyat Lumajang memiliki potensi lahan untuk dikembangkan sebagai hutan rakyat. Hal ini merupakan sumber daya yang besar untuk memenuhi kebutuhan hasil hutan yang semakin meningkat dan untuk menjaga keseimbangan iklim mikro serta untuk memperbaiki kualitas lahan kritis. UMHR (Unit Manajemen Hutan Rakyat) Wana Lestari yang dinyatakan lulus sertifikasi pada tanggal 5 Maret 2010 mengelola areal seluas 3.077 Ha dengan dominasi tegakan tanaman sengon yang tersebar di sembilan desa. 

Perencanaan hutan tergolong baik dari segi persiapan bibit hingga pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh petani diantaranya, pembibitan, penanaman atau penyulaman, hingga pemeliharaan tanaman. Berdasarkan analisis tegakan sengon merupakan jenis tanaman yang paling banyak diminati dari ketiga tanaman lainnya yakni waru, mahoni dan jati. Masyarakat lebih menyukai sengon karena rata-rata umur panen yang tidak terlalu lama serta permintaan yang banyak dari para pembeli. Perencanaan yang baik dari petani selalu berkoordinasi antara petani satu dengan yang lainnya agar terjalin komunikasi sistematis mengenai pengelolaan hutan rakyat. 

 B. Organisasi Keorganisasian di Kabupaten Lumajang ini sudah terorganisir dengan baik dimana pada Gapoktan disini diberi nama Paguyuban Pelestari Hutan Rakyat (PPHR) yang dipimpin oleh ketua kelompok serta anggota lainnya seperti sekertaris, bendahara serta seksi-seksi dengan fungsi tugas dan tanggung jawab yang telah dibebankan kepada setiap anggota. Terdapat tiga seksi pengembangan organisasi yakni :

1. Membuat rencana kerja (jangka menengah lima tahunan dan tahunan) yang berkaitan dengan : 
a. Aspek sumberdaya alam. terdiri atas: 1. rehabilitasi sumberdaya alam 2. Upaya pelestarian sumberdaya alam 

b. Aspek sumberdaya manusia. 1. Upaya peningkatan kesadaran, kemampuan/ketrampilan dan pengetahuan pengurus dan anggota dalam bidang pelestarian sumberdaya alam dan kelembagaan. 2. Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pengurus/anggota. 3. Mengevaluasi perkembangan/dinamisasi PPHR. 

 2. Usaha dan Jaringan Pasar 

a. Melaksanakan dan penanggungjawab penumbuhan dan perkembangan kegiatan usaha bersama yang dikembangkan kelompok. 
b. Mengupayakan pemasaran produk hutan rakyat kayu maupun non kayu, baik berkaitan dengan Informasi pasar maupun melalui hubungan kemitraan dengan perindustrian 

3. Seksi Hubungan Masyarakat

 a. Menjalin kerjasama dengan dinas/instansi/lembaga terkait dalam upaya program PPHR dalam upaya pengembangan dan pelestarian sumberdaya alam melalui kegiatan hutan rakyat. 

b. Mengatur hubungan antara PPHR dan kelompok maupun antar organisasi pelestari hutan rakyat. 


C. Pelaksanaan Terdapat tiga pola pengembangan hutan rakyat di Hutan Rakyat Lumajang yaitu. 

1. Hutan Rakyat Pola Swadaya, yaitu hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. 

2. Hutan Rakyat Pola Subsidi adalah hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan pemerintah atau pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat. 

3. Hutan Rakyat Pola Kemitraan adalah hutan rakyat yang dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan bunga ringan (KUHR/Kredit Usaha Hutan Rakyat). 


 D. Pemanenan Pemanenan dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : 

a. Mencukupi daur ekonomis : 
1. Tanaman sengon, rata-rata ditebang/dipanen pada umur lima tahun dengan cara tebang habis (diameter rata-rata 20-30 cm). 
2. Tanaman Waru rata-rata ditebang pada umur 5 - 6 tahun (diameter rata-rata 20-30 cm). 
3. Tanaman Mahoni rata-rata ditebang mulai umur 10 tahun (diameter rata-rata 15 – 25 cm). 
4. Tanaman Jati rata-rata ditebang mulai umur 10 tahun (diameter rata-rata 15–22 cm). 

b. Memenuhi kebutuhan yang bersifat mendesak (Kebutuhan untuk biaya sekolah, mempunyai hajat, membuat rumah, atau keperluan lainnya) 
1. Khusus untuk keperluan tebang butuh, penebangan dilakukan dengan cara tebang pilih (yang berdiameter besar) maupun tebang habis. 
2. Pelaksanaan penebangan (biaya maupun proses perijinannya) diserahkan pada pihak yang membeli dan peralatan yang dipergunakan pada umumnya adalah gergaji mesin. 


 E. Pemasaran Beberapa pola saluran pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Lumajang yaitu: 1. Petani → tengkulak → usaha pengolahan kayu lokal → konsumen. 
2. Petani → usaha pengolahan kayu (Lokal dan Luar) → konsumen. 
3. Petani → konsumen. 

Kegiatan penjualan atau pemasaran jarang dilakukan oleh petani pemilik kecuali untuk penjualan yang bersifat memenuhi kebutuhan yang mendesak (petani mendatangi pedagang). Pedagang umumnya mendatangi petani pemilik kayu terutama jika ukuran diameter batang > 20cm. F. Argumen Kelompok Analisis bahan perbandingan yang kami gunakan yaitu hutan rakyat di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur dan Kabupaten Lampung Tengah.

 Berdasarkan hasil analisis yang kami lakukan, pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Lumajang dinilai lebih baik. Hal tersebut karena pada hutan rakyat Lumajang telah memiliki perencanaan dan pengoganisasian yang baik antara petani hutan dalam mengelola hutan rakyat hingga terbentuk suatu Gapoktan. Meskipun demikian, hutan rakyat yang ada di Lampung Tengah juga telah dibentuk koperasi yaitu GMWT (Giri Mukti Wana Tirta) dan berperan dalam pengelolaan hutan terutama penyaluran terhadap pemasaran kayu. Pemanenan hasil hutan yang ada di hutan rakyat Lumajang berdasarkan aspek untuk mencukupi daur ekonomi dan kebutuhan mendesak (tebang butuh). 

 Sedangkan pada hutan rakyat di Lampung Tengah lebih dominan pada sistem tebang butuh. 


KESIMPULAN 


 1. Perencanaan yang ada di hutan rakyat Lumajang dinilai baik. Hal ini karena petani selalu berkoordinasi antara petani satu dengan yang lainnya agar terjalin komunikasi sistematis mengenai pengelolaan hutan rakyat. 
2. Keorganisasian di hutan rakyat Kabupaten Lumajang telah baik dibuktikan dengan dibentuknya Gapoktan bernama Paguyuban Pelestari Hutan Rakyat (PPHR). 
 3. Pelaksanaan di hutan rakyat Lumajang terdiri atas tiga pola yaitu swadaya, subsidi, dan kemitraan. 
4. Pemanenan hutan rakyat dilakukan dengan dua aspek yaitu mencakup nilai ekonomis dan memenuhi kebutuhan yang bersifat mendesak.
 5. Hutan rakyat Lumajang memiliki tiga jalur pemasaran. 

 DAFTAR PUSTAKA

Turun Lapang Ke Hutan Rakyat di Pubian Kabupaten Lampung Tengah

PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT KOPERASI COMMUNITY LOGGING GIRI MUKTI WANA TIRTA DI KECAMATAN PUBIAN KABUPATEN LAMPUNG TENGAH (Laporan Praktikum Pengelolaan Hutan Rakyat) Oleh Kelompok 4: Fidyan Dieny Ikhsan Pandu Wibowo Lely Pratiwi Simanjorang Naili Rahma Rofika Wilyanuari Tiara Avissa agung JURUSAN KEHUTANAN FAKUTAS PERTANIAN BANDAR LAMPUNG 2016 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelolaan hutan rakyat merupakan upaya menyeluruh dari kegiatan-kegiatan merumuskan, membina, mengembangkan, menilai serta mengawasi pelaksanaan kegiatan produksi, pengolahan hasil dan pemasaran secara berencana dan berkesinambungan. Tujuan yang paling akhir dari pengelolaan hutan rakyat adalah peningkatan produksi kayu rakyat sehingga dapat meningkatkan pemilik hutan rakyat secara terus menerus selama daur. Menurut Undang-Undang Kehutanan No. 41/1999 menyebutkan bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan, sedangkan menurut statusnya, hutan hanya dibagi ke dalam 2 kelompok besar yaitu hutan negara, hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah; dan hutan hak adalah hutan yang dibebani hak atas tanah yang biasanya disebut sebagai hutan rakyat. Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas lahan milik rakyat, baik petani secara perorangan maupun bersama-sama. Ada banyak berbagai pendapat yang menyatakan bahwa hutan rakyat terbentuk dari kegiatan swadaya masyarakat dengan maksud untuk menghasilkan kayu dan hasil-hasil lainnya secara ekonomis dengan memperhatikan unsur-unsur keberlanjutan dan perlindungan, dalam rangka memenuhi kebutuhan kehidupan keluarga dan sosial. Dari sudut pandang pemerintah mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan hutan rakyat karena adanya dukungan program penghijauan dan kegiatan pendukung seperti demplot dan penyuluhan. Hutan rakyat atau hutan milik adalah semua hutan yang ada di Indonesia yang tidak berada di atas tanah yang dikuasai oleh pemerintah, dimiliki oleh masyarakat, proses terjadinya dapat dibuat oleh manusia, dapat juga terjadi secara alami, dan dapat juga karena upaya rehabilitasi tanah kritis. Strategi dalam mencegah pembalakan liar dan mengamankan peluang perdagangan kayu khususnya di pasar Eropa, Pemerintah Indonesia telah menegosiasikan sebuah Kesepakatan Kemitraan Sukarela (VPA) dengan Uni Eropa yang ditandatangani pada bulan September 2013. Secara prinsip, melalui kemitraan VPA dan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK), produk kayu akan diidentifikasi dan diverifikasi, dipantau dan dipastikan asal usulnya sehingga kayu-kayu yang diekspor ke Uni Eropa berasal dari sumber-sumber legal. Keputusan untuk masuk dalam VPA dengan Eropa dan menerapkan SVLK bertujuan untuk membangun dasar yang kokoh bagi legalitas ekspor kayu Indonesia. Indonesia berupaya untuk memanfaatkan peluang untuk meningkatkan pangsa dalam pasar eko-sensitif dan kemungkinan mendapatkan harga premium. Kementerian Kehutanan menetapkan sejumlah peraturan dan menata kelembagaan terkait SVLK, hal tersebut mencakup: peraturan mengenai jenis usaha kehutanan yang wajib memiliki sertifikat SVLK, persyaratan untuk memenuhi standar legal, panduan untuk mengevaluasi kinerja usaha kehutanan, masa berlakunya sertifikat, dan tenggat waktu bagi industri kayu skala kecil dan menengah untuk memperoleh sertifikat SVLK. Perusahaan skala besar telah menunjukkan kemajuan dalam mengadopsi SVLK. Ketentuan Menteri Perdagangan yang mensyaratkan produk kayu olahan yang boleh diekspor adalah yang berasal dari eksportir dan industri serta produsen yang bersertifikat SVLK. Terdapat kemajuan di kalangan usaha skala kecil dalam mendapatkan sertifikasi SVLK, masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan semua usaha berskala kecil mendapatkan sertifikat SVLK, bahkan dalam sertifikasi kelompok sekalipun. Hutan rakyat memiliki peluang dan potensi yang sangat besar dalam memajukan industri kehutanan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat oleh yang adil, memperbaiki kualitas lahan, kesuburan tanah dan tata air. Praktikum turun lapang ini dilakukan untuk melihat bentuk sertivikasi hutan rakyat yang terdapat di Lampung Tengah, dengan melihat sejarahnya,, bentuk-bentuk budidaya yang dilakukan masyarakat, bentuk pemasarannya serta manfaat hutan rakyat bagi masyarakat. 1.2 Tujuan Tujuan dari praktikum turun lapang Pengelolaan Hutan Rakyat adalah sebagai berikut 1. Mahasiswa dapat mengetahui sejarah serta sistem sertifikasi pada Hutan Rakyat GMWT. 2. Mahasiswa dapat mengetahui bentuk organisasi, perencanaan, penanaman, pemanenan sampai dengan pemasaran Hutan Rakyat di Lmapung Tengah. 3. Mahasiswa mengetahui manfaat serta keuntungan dari sertifikasi Hutan Rakyat kelompok GMWT bagi petani atau pengelolan Hutan Rakyat. II. TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan hutan rakyat sangat erat kaitannya dengan masyarakat, maka diperlukan konsep pengelolaan hutan yang melibatkan masyarakat secara langsung. Konsep inilah yang dikenal dengan PHBM (Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat) sejak tahun 1999 di Indonesia. Menurut Malamassam (2009), Konsep pengelolaan hutan berbasiskan masyarakat merupakan bentuk pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat yang sesuai dengan karakteristik daerah dan adat lokal yang ada, serta dilandasi oleh semangat pengelolaan kehutanan secara sosial. Pola-pola hutan rakyat yang dikembangkan di masyarakat dari komponen tanaman pembentuknya, yaitu secara monokultur, agroforestri, dan campuran. Pola monokultur yaitu hutan rakyat yang disusun oleh satu jenis tanaman kehutanan. Pola agroforestri yaitu bentuk pemanfaatan lahan yang mengkombinasikan antara tanaman kehutanan, pertanian, dan/atau peternakan pada lahan milik yang dikelola secara terpadu (Sardjono et al. 2003). Sedangkan pola campuran merupakan pemanfaatan lahan pada lahan milik dengan berbagai jenis tanaman kehutanan. Pola tanam hutan rakyat di berbagai daerah di Indonesia bisa saja berbeda-beda. Penelitian dan kajian terkait pola tanam hutan rakyat telah banyak dilakukan, Purwanto dan Achmad (2014) melakukan kajian mengenai sistem agroforestri dan kontribusi ekonomi pada berbagai pola tanam hutan rakyat. Selain itu, telah dilakukan kajian mengenai pola agroforestri di hutan rakyat penghasil kayu pertukanggan (sengon). Hasil menunjukkan bahwa pemilihan jenis tanaman hutan rakyat sangat mempengaruhi keberhasilan pengembangan hutan rakyat. Akan tetapi, belum adanya penelitian atau kajian yang membahas tentang pola pengembangan hutan rakyat pada suatu proyek atau program konservasi hutan. Kayu pada hutan rakyat dikelola dan dimanfaatkan oleh pribadi dan mengingat kembali bahwa pemerintah hanya melakukan pembinaan terhadap masyarkat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan secara lestari, maka dalam pengupayaan menjamin kelestarian hutan rakyat, suatu pengaturan atau penatausahaan hasil hutan di hutan rakyat menjadi satu hal penting yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu untuk kelancaran serta ketertiban dalam pengelolaan dan pelaksanaan penatausahaan hasil hutan di hutan rakyat dipandang perlu dibuatkan suatu dasar acuan atau petunjuk pelaksanaannya (Said, 2015). Pelaksanaan hutan rakyat didasarkan atas konsep keberlanjutan yang dapat dirinci dalam tiga aspek yaitu (1) keberlanjutan ekonomi yaitu pembangunan yang mampu menghasilkan barang dan jasa secara kontinu untuk memelihara keberlanjutan pemerintahan dan menghindari terjadinya ketidakseimbangan sektoral yang dapat merusak produksi pertanian dan industri. (2) Keberlanjutan lingkungan yaitu sistem yang harus mampu memelihara sumberdaya alam dan fungsi penyerapan lingkungan. Konsep lingkungan menyangkut keanekaragaman hayati, stabilitas ruang udara dan fungsi ekosistem, di dalamnya tidak termasuk kategori sumber-sumber ekonomi. (3) Keberlanjutan sosial yaitu sistem yang mampu mencapai kesetaraan, menyediakan layanan sosial termasuk kesehatan, pendidikan, gender dan akuntabilitas politik ( Fauziyah, 2007). Sertifikasi hutan merupakan sebuah instrumen kebijakan hutan berbasis pasar yang menggunakan stick and carrot approach, yaitu tidak hanya mendorong pengelolaan hutan lestari melalui kampanye boikot kayu (stick) dari hutan yang tidak dikelola secara lestari, tapi diharapkan juga bisa menawarkan insentif (economic carrots), yaitu akses pasar yang lebih baik dan (mungkin) harga premium, kepada pengelola hutan yang mampu mengelola hutannya secara lestari (Cashore et al., 2004) Sertifikasi hutan memang sudah lama dikenal, namun sertifikasi hutan rakyat mulai diterapkan baru pada tahun 2004. Dua skema sertifikasi yang beroperasi di Indonesia yaitu Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan The Forest Stewardship Council (FSC). Sampai dengan tahun 2010, Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) telah mengeluarkan 12 (dua belas) sertifikasi Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Lestari (PHBML) di Indonesia dan meliputi areal seluas kurang lebih 24 ribu hektare. Sebagai gambaran, bahwa dari sekitar 24 ribu hektar hutan rakyat yang mendapatkan sertifikat PHBML LEI, memiliki potensi kayu sebesar 278.694 m3 (Potensi total untuk jenis Jati, Mahoni, Akasia, Trembesi), dengan etat tebang lestari sebesar 44.705 m3/tahun. Apabila seluruh hutan rakyat swadaya seluas 966 ribu hektar telah dikelola secara lestari melalui instrumen sertifikasi ekolabel, maka hutan rakyat akan menempati posisi utama dalam pengelolaan hutan lestari di Indonesia (Frediantoro, 2011). Terbatas luasan hutan rakyat yang sudah tersertifikasi mengindikasikan adanya beberapa kendala dalam upaya persertifikasian hutan rakyat. Secara garis besar, Kendala-kendala tersebut bisa dikelompokkan menjadi 2 yaitu kendala dari dalam (internal contraints) dan dan kendala dari luar (external contraints). Kendala-kendala tersebut dianalisis sebagai berikut; urutan penyebutan tidak menunjukkan urutan skala dari kendala tersebut. Kendala dari dalam yaitu, minimnya pengetahuan petani hutan (awareness) akan adanya program sertifikasi hutan, biaya sertifikasi yang mungkin tidak viable untuk hutan rakyat, manajemen dan kelembagaan pengelolaan hutan rakyat. Sedangkan, kendala dari luar antara lain, Pasar untuk kayu yang telah tersertifikasi dan jenis program yang ditawarkan oleh lembaga sertifikasi (Maryudi, 2005). III. METODE PENGAMBILAN DATA 3.1 Waktu dan Tempat Praktikum ini dilakukan pada tanggal 26-27 November 2016 di Desa Kota Batu Kecamatan Pubian Lampung Tengah. Lokasi dipilih karena hutan rakyat yang berada di daerah tersebut merupakan salah satu hutan rakyat yang telah tersertifikasi. 3.2 Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam praktikum turun lapang ini adalah alat tulis, alat dokumentasi dan tape recorder. Bahan yang digunakan adalah Hutan rakyat yang telah tersertifikasi di Lampung Tengah. 3.3 Metedologi Praktikum Metode yang digunakan pada praktikum ini adalah wawancara dan diskusi kepada salah satu anggota kelompok koperasi GMWT di Lampung Tengah serta melakukan praktikum langusng ke lapangan. Data yang dikumpulkan adalah data primer melalui wawancara mendalam dan diskusi dengan anggota kelompok koperasi. Data sekunder dengan mengkaji dokumen sertifikasi yang ada. Pengamatan langsung ke lapangan di pandu oleh pengelolan dengan melihat bentuk langsung daru hutan rakyat yang dikelola oleh kelompok GMWT. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Hutan rakyat dianggap dapat memberikan manfaat ekonomis, sosial, dan lingkungan yang cukup signifikan terhadap petani hutan. Contohnya, seperti di Desa Kota Batu kecamatan Pubian Lampung Tengah, yang dapat memberikan kontribusi pada aspek sosial seperti membuka kesempatan kerja baru. Pada beberapa daerah, hutan rakyat dianggap bisa menumbuhkan kohesi sosial diantara petani hutan dan di dalam masyarakat secara umum (Himmah, 2002). Perundangan yang berkaitan dengan hutan rakyat tidak banyak mengalami revisi melainkan adanya penambahan seperti Keputusan Menhutbun No. 677/Kpts-II/1998 tentang pengembangan kawasan hutan rakyat. Keberadaan peraturan perundangan hutan rakyat mulai dikenal setelah dilaksanakan proyek penghijauan pada tahun 1975 dalam SK Dirjen Kehutanan No. 161/D1/1/1975 tanggal 25 Oktober 1975 . Campur tangan pemerintah dalam pengelolaan hutan rakyat dapat memberikan dampak positif dan negatif terhadap perkembangan hutan rakyat. Dampak negatif apabila peraturan perundangan membebani pemilik hutan rakyat sehingga mengurangi minat masyarakat untuk membangun hutan rakyat akhirnya rakyat akan mengalih fungsikan lahan untuk tujuan lain. Dampak positiif perundangan hutan rakyat dapat meningkatkan minat rakyat untuk membangun dan mendorong perkembangan hutan rakyat. Peraturan terbaru terkait SVLK yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.95/Menhut-II/2014 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2014 tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produk Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 97/M-DAG/PER/12/2014 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, dan Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.14/VI-BPPHH/2014 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada tahun 2007 hutan di desa Kota Batu Kecamatan Pubian banyak mengalami perambahan di Register 39 yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Perambahan yang dilakukan dapat menyebabkan kerusakan hutan terutama kerusakan pada aspek ekologi seperti erosi, hilangnya keanekaragam hayati dan lain-lain. Melihat perambahan yang dilakukan masyarakat setempat menggerakkan Yayasan Konservasi Way seputih (YKWS) yang fokus pada penanganan wilayah konservasi Way Seputih untuk melakukan pendampingan terhadap masyarakat setempat. Pendampingan awal yang dilakukan YKWS dengan membentuk koperasi Giri Mukti Wana Tirta (GMWT) pada tahun 2009. Koperasi ini dibentuk bertujuan untuk membina masyarakat sekitar kawasan register 39 dan menjaga tata air di kawasan tersebut. Dari aspek lingkungan, petani hutan rakyat Lampung Tengah tetap menjaga aspek ekologi dari hutan rakyat tersebut. Petani dari hutan rakyat ini ingin menjaga tata air DAS Way seputih. Hutan rakyat ini telah memberikan manfaat ekologis seperti memperbaiki kondisi ekologis tanah dan mengurangi bahaya erosi pada lahan. Hutan rakyat di desa Kota Batu Kecamatan Pubian Lampung Tengah sebenarnya memiliki potensi yang cukup potensial untuk pemanfaatan hasil kayu dan HHBK secara lestari. Peraturan yang mendukung hal tersebut adalah peraturan dari desa Kota Batu yaitu jika ada yang merambah maka tidak akan diserahkan kepada pihak berwenang akan tetapi akan di tindak lanjuti oleh masyarakat setempat, dan peraturan dari koperasi adalah untuk setiap anggota diwajibkan menanam 2 pohon untuk koperasi serta tebnag 1 pohon dengan menanam 10 pohon. Koperasi GMWT diketuai oleh bapak Pramono dan wakil ketua bapak Sumiar. Terbentuknya hutan rakyat diawali dengan masyrakat yang ingin menjadi anggota kelompok koperasi dengan syarat memperlihatkan tanda bukti kepemilikan tanah dan pajak tanah milik sendiri. Hasil hutan kayu pada Hutan rakyat di desa ini cukup melimpah dan para petani ingin memasarkan hasil hutan yang cukup melimpah tersebut, akan tetapi masyarakat masih memiliki kendala dalam pemasaran hasil hutan kayu karena tidak memiliki konsumen tetap. Permasalahan tersebut membuat koperasi GMWT memutuskan untuk melakukan sertrifikasi pada hasil hutan kayu yang disebut Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang berlaku selama 10 tahun. SVLK diajukan sejak tahun 2009. Manfaat dari SVLK dalam proses distribusi pengiriman hasil kayu yang mudah dan aman karena telah memiliki asal usul kayu yang jelas. Pada tahun 2009 juga masyarakat mulai melakukan persiapan dari mempersiapkan admistrasi dan syarat ketentuan SVLK lainnya. Biaya awal dalam pendaftaran SVLK pada kelompok GMWT sebesar Rp 65.000.000,00. Kelompok GMWT mendapatkan SLVK pada tahun 2011, lembaga yang membantu dalam proses pengajuan sertifikasi SVLK serta melakukan SVLK adalah Sucofindo dengan menggunakan skema Lembaga Ekolable Indonesia.(LEI). Dalam melakukan sertifikasi di hutan rakyat desa Kota Batu memiliki kendala yang diantaranya mahalnya harga pendaftaran SVLK dan harga survey lahan, serta pemahaman masyarakat di hutan rakyat desa Kota Batu tentang SVLK. Setiap 2 tahun sekali SLVK pada hutan rakyat harus dilakukan monitoring survey pada kawasan hutan oleh auditor dengan membayar biaya survei sebesar Rp 40.000.000,00. SVLK di hutan rakyat desa Pubian diberhentikan atau dibekukan pada tahun 2015 ,hal ini terjadi karena pihak koperasi GMWT tidak dapat menyanggupi proses administrasi dalam pembayaran survey SVLK. Pembkuan atau pemberhentian ini menyebabkan koperasi GMWT sementara tidak dapat menggunakan label SVLK. Jenis vegetasi kayu yang ada pada hutan rakyat di desa ini adalah sengon, akasia, cempaka, mahoni, jati putih, karet, duren, pulai, dan gaharu. Untuk tanaman yang berbuah salak, sawit, pisang, kakao, kopi, lada, dan jambu air. Perbedaaan harga kayu antara setelah di SVLK atau sebelum di SVLK tidak berbeda, misalnya : untuk sengon Rp 1.400.000,00 sampai dengan Rp 1.800.000,00 per kubik (6 balok untuk 1 kubik), untuk kayu akasia dijual bentuk kupasan perKg dihargai Rp 350.000,00 dengan panjang 2,5m. Pada sistem pemasaran hutan rakyat kayu yang dimiliki oleh petani atau pengelolan dijual ke koperasi dan tengkulak serta perusahaan. Masyarakat cenderung menjual kayu kepada tengkulang dengan alasan lebih mudah. Pada pemasaran tengkulak masyarakat menjual kayu pada tengkulak lalu tengkulak menjual kayu tersebut ke sawmill yang ada di Provinsi Lampung. Pada pemasaran menggunakan industri masyarakat menjual kayu ke industri dalam hal ini koperasi GMWT dengan berbagai syarat lalu industri mengelola kayu dan di distribusiakan ke konsumen, Pola pemasaran terakhir pada hutan rakyat ini adalah perusahaan yang mengambil langsung kayu ke hutan rakyat kemudian diolah oleh perusahan sendiri lalu dijual ke konsumen Bentuk kepemilikan lahan atau property right di hutan rakyat desa Kota Batu adalah masyarakat yang memilki lahan dapat mengelola lahannya dan menjadi anggota koperasi GMWT dengan menunjukan sertifikat bukti kepemilikan lahan. Rata-rata Lahan yang dimiliki oleh masyarakat dikelola oleh pemilik sendiri dan dapat dipindahtangankan kepada keluarganya sepertti anak dan istri. Pada hutan rakyat di desa ini menggunakan sistem agroforestri dan polikultur. Pada sistem agroforestry tanaman kehutanan dikombinasikan dengan tanaman perkebunan, dikombinasikan dengan perternakan sapi dan kambing lalu dikombinasikan dengan perikanan (Silvofishery). Pendapatan petani tidak dapat diperkirakan karena penghasilan petani banyak dari berbagai tanaman yang ada di lahan petani. Tanaman yang ditanaman oleh masyarakat seperti sengon, akasia, jati gaharu dan lain-lain. Alasan masyarakat memilih untuk menanam tanaman tersebut adalah waktu panen yang lebih cepat serta memiliki pasar yang luas. V. KESIMPULAN Kesimpulan yang didapat dari praktikum kali ini adalah sebagai berikut 1. Sertifikasi Hutan Rakyat GMWT didapatkan pada tahun 2011 dengan biaya awal sebesar 65 juta. Setiap dua tahun sekali kelompok ini melakukan survelen dengan biaya sebesar 40 juta, naman saat ini kelompok GMWT tidak dapat melakukan pelabelan sertifikasi dikarenakan organisasi pengelolaan sedang dibekukan. 2. Organisasi pengelolaan hutan rakyat di GMWT sudah berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat dari struktur organisasi mulai dari ketua sekertaris dan anggota namun GMWT masih kekurangan sumber daya tenaga ahli khususnya untuk pengelolaan alat industri. 3. Sertifikasi dari hutan rakyat di Lampung Tengah tidak terlalu memberikan dampak yang besar bagi kelompok petani hutan, hal ini dikarenakan harga kayu yang tidak tersertifikasi dan terertifikasi memiliki harga yang sama dan tidak terdapat harga premium. Sertifikasi hutan rakyat walaupun tidak terlalu memberikan dampak namun tetap memberikan keuntungan melalui eksportir atau pun perusahaan yang mengambil kayu sertifikasi langsung ke hutan rakyat. DAFTAR PUSTAKA Cashore, B., Auld, G. and Newsom, D., 2004. Governing Through Markets: Forest certification and the emergence of non-state authorit. Yale University Press, New Haven & London. Fauziyah, E., Idin S. R., Dan Budiman A. 2007. Kelembagaan Hutan Rakyat Agroforestri Di Kabupaten Banjarnegara. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri. 475 – 481. Frediantoro, I. A. 2011. Dampak sertifikasi terhadap pengelolaan hutan rakyat: kasus di Gabungan Organisasi Pelestari Hutan Wono Lestari Makmur Sukaharjo Jawa Tengah. e-Jurnal UNDIP. 1 (4) : 1- 15 Himmah, B., 2002. Kajian sosiologis pemasaran sengon hutan rakyat di Kabupaten Wonosobo. J. Hutan Rakyat. 4 : 24-46. Malamassam, D. 2009. Modul Pembelajaran Mata Kuliah : Perencanaan Hutan. Universitas Hasanuddin. Makassar Maryudi, A., 2005. Beberapa kendala bagi sertifikasi hutan rakyat. J. Hutan Rakyat: 7(3):25-39 Purwanto, R. H., Achmad B. 2014. Peluang adopsi sistem agroforestri dan kontribusi ekonomi pada berbagai pola tanam hutan rakyat di Kabupaten Ciamis. J. Bumi Lestari. 14 (1): 15–26. Said, W. S. 2015. Perencanaan pengembangan kerjasama kemitraan multipihak usaha hutan rakyat. J. Ekonomi dan Kehutanan. 3 (2) : 3 - 7 Sardjono, M.A., Djogo, T., Arifin, H.S. Dan Wijayanto, N. 2003. Klasifikasi dan Pola Kombinasi Komponen Agroforestri. Bogor (ID): ICRAF. LAMPIRAN Gambar 1. Pembibitan yang dilakukan oleh masyarakat tetapi banyak yang tidak dipindahkan kelahan karena masyarakat lebih memilih untuk menanam sawit. Gambar 2. Hutan Rakyat yang ada di Desa Payung Batu dengan pola campuran antara beberapa jenis pohon dan juga pisang. Gambar 3. Sertifikat Hutan Rakyat COMLOG GNWT yang terbit pada tahun 2011 dan berlaku hingga 2021 (10 tahun) Gambar 4. Sertifikat hutan rakyat tersebut diterbitkan oleh Sucofindo Timber Legacy dengan luas lahan yang tersertifikat 210, 7362 ha Gambar 5. Setelah melakukan praktikum, praktikan turun bersama pengelola hutan rakyat ke air terjun yang terdapat di dalam hutan lindung “Air Terjun Curug Lestari Register 39”.