Rabu, 22 Maret 2017

ANALISIS HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN LUMAJANG PROV. JAWA TIMUR

ANALISIS HUTAN RAKYAT DI KABUPATEN LUMAJANG PROVINSI JAWA TIMUR (Makalah Pengelolaan Hutan Rakyat) 
 Oleh Lely Pratiwi S

UNIVERSITAS LAMPUNG 
BANDAR LAMPUNG 
2016
 I. PENDAHULUAN 

 A. Latar Belakang Hutan rakyat merupakan hutan yang tumbuh di atas lahan yang dibebani hak milik (hutan hak) yang dikelola oleh rakyat. Pengelolaan hutan rakyat lestari adalah suatu sistem pengelolaan yang memperhatikan kelayakan ekologi/ lingkungan, kelayakan pendapatan (ekonomi), dan kelayakan sosial yang dapat menjamin dalam pemenuhan kebutuhan secara optimal dan berkelanjutan (Kholik, 2012). Kelayakan ekologi adalah memperhatikan kelangsungan fungsi ekologis dan lingkungan, dalam hal ini bahwa hutan merupakan tempat tumbuhnya flora dan fauna yang beraneka ragam yang harus dikelola dan dijaga agar tetap lestari, serta tanah yang ada harus dijaga agar tidak menyebabkan terjadinya erosi. Kelayakan ekonomis adalah bahwa hutan rakyat harus dapat menghasilkan nilai ekonomi (pendapatan) dan manfaat (perolehan) yang tinggi bagi masyarakat secara berkelanjutan baik hasil untuk masa kini maupun masa depan. Sedangkan kalayakan sosial adalah mengenai posisi dan fungsi hutan rakyat sebagai penyedia lapangan kerja bagi masyarakat sekitar, sehingga semakin banyak hutan rakyat yang ada, pekerjaan yang diberikan untuk masyarakat sekitar hutan akan bertambah pula. Salah satu cara yang dapat dilakukan dalam pengelolaan hutan rakyat dan pemanfaatan lahan secara optimal adalah dengan usaha hutan rakyat berbasis Agroforestry, dimana di dalam lahan tersebut dimanfaatkan sebagian besar oleh pohon-pohon berkayu (pohon-pohon kehutanan) dan tanaman pertanian (sayur-sayuran, buah-buahan, dan komoditas pertanian lainnya) sebagai tanaman sela yang mengisi antar pohon kehutanan (Kholik, 2012). 

 Agroforestry merupakan suatu teknik yang memanfaatkan lahan secara hemat dan tepat guna dimana semua lokasi lahan dimanfaatkan sebaik mungkin tanpa ada yang tersisa sedikitpun. Seperti yang sudah diketahui bersama, bahwa pada pohon-pohon kehutanan terdapat aturan yang biasa disebut dengan jarak tanam pohon. Pada jarak tanam ini, suatu tegakan diatur jarak tanamnya antara pohon yang satu dengan yang lain guna menghasilkan tegakan yang normal, seimbang, dan lebih produktif. Pada hutan alam maupun hutan tanaman, biasanya diberikan jarak antar pohon ideal adalah sekitar 3 meter x 3 meter, sehingga hanya sebagian kecil saja lahan yang bisa dimanfaatkan. Hal tersebut memang baik dan sesuai aturan, karena dilakukan agar pohon tidak tertekan atau terhambat petumbuhannya dari pohon-pohon lain di sekitarnya. Akan tetapi, pemanfaatan lahan tidak dapat dilakukan secara optimal (Kholik, 2012). Berbeda halnya pada sistem agroforestry ini, semua lahan dimanfaatkan dengan sebaik mungkin, atau dengan kata lain tidak ada sedikitpun lahan yang tidak dipergunakan. Teknik yang digunakan pada agroforestry ini adalah pada selang antar jarak tanam pohon kehutanan yang ada dimanfaatkan dengan menanam tanaman pertanian, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Dengan demikian, beberapa keinginan masyarakat yang saling bertentangan yang selama ini terpikirkan di dalam memanfaatkan hasil hutan dapat tercapai dengan agroforestry yaitu di samping petani/ masyarakat dapat memanfaatkan sayur-sayuran dan buah-buahan yang ada di lahan hutan rakyat tersebut, petani juga dapat senantiasa menjaga keberlanjutan fungsi lahan/tanah secara lestari dalam hal unsur hara dan keberlanjutan hasil hutan (pohon berkayu) secara lestari dan optimal (Kholik, 2012). 

 B. Tujuan  pembuatan makalah adalah agar mahasiswa dapat mengetahui perencanaan, organisasi, pelaksanaan, pemanenan, dan pemasaran hutan rakyat di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. 


II. ISI 


 A. Perencanaan Hutan Rakyat Lumajang memiliki potensi lahan untuk dikembangkan sebagai hutan rakyat. Hal ini merupakan sumber daya yang besar untuk memenuhi kebutuhan hasil hutan yang semakin meningkat dan untuk menjaga keseimbangan iklim mikro serta untuk memperbaiki kualitas lahan kritis. UMHR (Unit Manajemen Hutan Rakyat) Wana Lestari yang dinyatakan lulus sertifikasi pada tanggal 5 Maret 2010 mengelola areal seluas 3.077 Ha dengan dominasi tegakan tanaman sengon yang tersebar di sembilan desa. 

Perencanaan hutan tergolong baik dari segi persiapan bibit hingga pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan oleh petani diantaranya, pembibitan, penanaman atau penyulaman, hingga pemeliharaan tanaman. Berdasarkan analisis tegakan sengon merupakan jenis tanaman yang paling banyak diminati dari ketiga tanaman lainnya yakni waru, mahoni dan jati. Masyarakat lebih menyukai sengon karena rata-rata umur panen yang tidak terlalu lama serta permintaan yang banyak dari para pembeli. Perencanaan yang baik dari petani selalu berkoordinasi antara petani satu dengan yang lainnya agar terjalin komunikasi sistematis mengenai pengelolaan hutan rakyat. 

 B. Organisasi Keorganisasian di Kabupaten Lumajang ini sudah terorganisir dengan baik dimana pada Gapoktan disini diberi nama Paguyuban Pelestari Hutan Rakyat (PPHR) yang dipimpin oleh ketua kelompok serta anggota lainnya seperti sekertaris, bendahara serta seksi-seksi dengan fungsi tugas dan tanggung jawab yang telah dibebankan kepada setiap anggota. Terdapat tiga seksi pengembangan organisasi yakni :

1. Membuat rencana kerja (jangka menengah lima tahunan dan tahunan) yang berkaitan dengan : 
a. Aspek sumberdaya alam. terdiri atas: 1. rehabilitasi sumberdaya alam 2. Upaya pelestarian sumberdaya alam 

b. Aspek sumberdaya manusia. 1. Upaya peningkatan kesadaran, kemampuan/ketrampilan dan pengetahuan pengurus dan anggota dalam bidang pelestarian sumberdaya alam dan kelembagaan. 2. Peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pengurus/anggota. 3. Mengevaluasi perkembangan/dinamisasi PPHR. 

 2. Usaha dan Jaringan Pasar 

a. Melaksanakan dan penanggungjawab penumbuhan dan perkembangan kegiatan usaha bersama yang dikembangkan kelompok. 
b. Mengupayakan pemasaran produk hutan rakyat kayu maupun non kayu, baik berkaitan dengan Informasi pasar maupun melalui hubungan kemitraan dengan perindustrian 

3. Seksi Hubungan Masyarakat

 a. Menjalin kerjasama dengan dinas/instansi/lembaga terkait dalam upaya program PPHR dalam upaya pengembangan dan pelestarian sumberdaya alam melalui kegiatan hutan rakyat. 

b. Mengatur hubungan antara PPHR dan kelompok maupun antar organisasi pelestari hutan rakyat. 


C. Pelaksanaan Terdapat tiga pola pengembangan hutan rakyat di Hutan Rakyat Lumajang yaitu. 

1. Hutan Rakyat Pola Swadaya, yaitu hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau perorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. 

2. Hutan Rakyat Pola Subsidi adalah hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan pemerintah atau pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat. 

3. Hutan Rakyat Pola Kemitraan adalah hutan rakyat yang dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan bunga ringan (KUHR/Kredit Usaha Hutan Rakyat). 


 D. Pemanenan Pemanenan dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut : 

a. Mencukupi daur ekonomis : 
1. Tanaman sengon, rata-rata ditebang/dipanen pada umur lima tahun dengan cara tebang habis (diameter rata-rata 20-30 cm). 
2. Tanaman Waru rata-rata ditebang pada umur 5 - 6 tahun (diameter rata-rata 20-30 cm). 
3. Tanaman Mahoni rata-rata ditebang mulai umur 10 tahun (diameter rata-rata 15 – 25 cm). 
4. Tanaman Jati rata-rata ditebang mulai umur 10 tahun (diameter rata-rata 15–22 cm). 

b. Memenuhi kebutuhan yang bersifat mendesak (Kebutuhan untuk biaya sekolah, mempunyai hajat, membuat rumah, atau keperluan lainnya) 
1. Khusus untuk keperluan tebang butuh, penebangan dilakukan dengan cara tebang pilih (yang berdiameter besar) maupun tebang habis. 
2. Pelaksanaan penebangan (biaya maupun proses perijinannya) diserahkan pada pihak yang membeli dan peralatan yang dipergunakan pada umumnya adalah gergaji mesin. 


 E. Pemasaran Beberapa pola saluran pemasaran kayu rakyat di Kabupaten Lumajang yaitu: 1. Petani → tengkulak → usaha pengolahan kayu lokal → konsumen. 
2. Petani → usaha pengolahan kayu (Lokal dan Luar) → konsumen. 
3. Petani → konsumen. 

Kegiatan penjualan atau pemasaran jarang dilakukan oleh petani pemilik kecuali untuk penjualan yang bersifat memenuhi kebutuhan yang mendesak (petani mendatangi pedagang). Pedagang umumnya mendatangi petani pemilik kayu terutama jika ukuran diameter batang > 20cm. F. Argumen Kelompok Analisis bahan perbandingan yang kami gunakan yaitu hutan rakyat di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur dan Kabupaten Lampung Tengah.

 Berdasarkan hasil analisis yang kami lakukan, pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Lumajang dinilai lebih baik. Hal tersebut karena pada hutan rakyat Lumajang telah memiliki perencanaan dan pengoganisasian yang baik antara petani hutan dalam mengelola hutan rakyat hingga terbentuk suatu Gapoktan. Meskipun demikian, hutan rakyat yang ada di Lampung Tengah juga telah dibentuk koperasi yaitu GMWT (Giri Mukti Wana Tirta) dan berperan dalam pengelolaan hutan terutama penyaluran terhadap pemasaran kayu. Pemanenan hasil hutan yang ada di hutan rakyat Lumajang berdasarkan aspek untuk mencukupi daur ekonomi dan kebutuhan mendesak (tebang butuh). 

 Sedangkan pada hutan rakyat di Lampung Tengah lebih dominan pada sistem tebang butuh. 


KESIMPULAN 


 1. Perencanaan yang ada di hutan rakyat Lumajang dinilai baik. Hal ini karena petani selalu berkoordinasi antara petani satu dengan yang lainnya agar terjalin komunikasi sistematis mengenai pengelolaan hutan rakyat. 
2. Keorganisasian di hutan rakyat Kabupaten Lumajang telah baik dibuktikan dengan dibentuknya Gapoktan bernama Paguyuban Pelestari Hutan Rakyat (PPHR). 
 3. Pelaksanaan di hutan rakyat Lumajang terdiri atas tiga pola yaitu swadaya, subsidi, dan kemitraan. 
4. Pemanenan hutan rakyat dilakukan dengan dua aspek yaitu mencakup nilai ekonomis dan memenuhi kebutuhan yang bersifat mendesak.
 5. Hutan rakyat Lumajang memiliki tiga jalur pemasaran. 

 DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar