KEBIJAKAN PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN
PARIWISATA ALAM DI KAWASAN HUTAN
Dosen Penanggung Jawab
Dr. Agus Purwoko, S.Hut.,M.Si,
Oleh
Lely Pratiwi S 207055011
PROGRAM STUDI KEHUTANAN
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2021
DAFTAR ISI
Judul……………………………………………………………………………1
Daftar Isi………………………………………………………………………
2
BAB I Pendahuluan……………………………………………………………3
BAB II Gambaran
Umum……………………………………………………..5
BAB III
Pembahasan………………………………………………………….8
BAB IV Kesimpulan
dan Saran ………………………………………………11
Daftar Pustaka…………………………………………………………………12
BAB I PENDAHULUAN
Pariwisata
alam merupakan salah satu manfaat yang dapat diperoleh dari pengembangan
kawasan hutan. Dasar hukum pengembangan kawasan hutan sebagai pariwisata alam
yang sesuai dengan prinsip kelestarian adalah UU No.5 tahun 1990 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hutan dan Ekosistemnya serta UU No. 9 tahun 1990
tentang Kepariwisataan dimana pemanfaatan kawasan hutan tersebut diarahkan
kepada kegiatan pengembangan pemenuhan jasa pariwisata alam bukan kepada
eksploitasi. Kawasan hutan yang memiliki potensi wisata alam dengan daya
tariknya yang tinggi merupakan potensi yang bernilai jual tinggi sebagai objek
wisata, sehingga pariwisata lam dikawasan hutan layak untuk dikembangkan.
Pengelolaan
pengembangan kepariwisataan nasional dapat dicapai atau diperoleh jika terdapat
sinergi dan keterpaduan antara kekuatan pemerintah, masyarakat, media massa dan
pengusaha paiwisata (Syahadat, 2006). Pengelolaan sumberdaya alam yang hanya
berorientasi ekonomi akan membawa efek positif secara ekonomi tetapi
menimbulkan efek negatif bagi kehidupan umat manusia. Keberagaman kekayaan
sumber daya alam Indonesia seperti
potensi alam, flora, fauna, keindahan alam dan bentuknya memiliki daya tarik
untuk dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara. Daya tarik
tersebut mendorong pemerintah untuk mengembangkan industri pariwisata.
Pemanfaatan
pariwisata dengan jasa lingkungan semakin banyak diminati masyarakat seperti
taman wisata pegunungan, wisata pantai, danau, hutan lindung, cagar alam dan
wisata alam menjadi objek wisata yang bernilai dan menarik. Akan tetapi
pengembangan di wilayah tersebut harus tetap menggunakan kaidah kaidah. Senada
dengan UU No 32 tahun 2009, menyebutkan bahwa pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup merupakan
upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan
hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup
yang meliputi oerencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan
dan penegakan hukum.
Kebijakan
pemerintah daerah dalam membangun pariwisata sangat penting peranannya dalam
menunjang keberhasilan pembangunan pariwisata nasional. Perkembangan dan
pertumbuhan pariwisata perlu diantisipasi agar perkembangannya tetap pada jalur
dan daya dukungnya. Pembangunan dalam wilayah objek wisata akan memberikan
sumbangan yang sangat besar apabila dikelola secara profesional, karena
sumbangan bagi daerah yang bersangkutan, pariwisata alam dapat memacu
pertumbuhan sekitar objek wisata tersebut.
Berbagai
potensi wisata yang ada di kawasan hutan sudah seharusnya menjadi objek wisata
unggul Indonesia. Pengelolaan dang pengembangan masih dalam kendali pemerintah dalam
hal insentif, yang dalam perkembangannya dengan perizinan pemerintah kemudian
pihak swasta dan masyarakat dapat mengelolanya. Perlu adanya upaya pengembangan
pariwisata alam agar lebih optimal dengan kebijakan kebijakan yang dibuat
secara jelas dan bersinergi.
II. KONDISI UMUM
Konsep
pengembangan berkelanjutan, dengan kondisi potensi berbasis alam (pegunungan,
hutan, sungai, keunikan geologis dan danau) an budaya yang mulai terancam
kelestariannya. Pembangunan pariwisata alam sudah saatnya mengacu pada
pengembangan wilayah yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat dan
berorientasi pada prinsip keberlanjutan.
Sebagai
contoh dalam pengebangan wilayah pariwisata Kabupaten Tapanuli Utara, sangat
penting untuk dilakukan integrasi dan sinergi dengan daerah lain terutama kabupaten
– kabupaten yang berada di wilayah danau Toba. Salah satu alasan dari sisi
spasial adalah Kabupaten Tapanuli Utara merupakan bagian dari Kawasan Strategi
Pariwisata Nasional (KSPN) Toba sekitarnya. Berdasarkan keputusan riparnnas
2010 – 2025 kabupaten tersebut berada dalam kawasan Pengembangan Pariwisata
Nasional (KPPN) yang sama yaitu KPPN Toba dan sekitarnya (Simamora, 2016).
Pariwisata
alam dikembangkan sesuai dengan permintaan masyarakat, wisatawan dan
kecenderungan perkembangan pariwisata. Paket wisata diwilayah hutan memiliki
daya tarik dan pasar tersendiri khusus pecinta petualangan. Tema pariwisata
seperti jungle tracking dan wildlife conservation dapat memikat
wisatawan tidak hanya menikmati keindahan alam tetapi juga diajak untuk turut serta
membantu konservasi lingkungan (Simamora, 2016).
Usaha
pengembangan pariwisata diharapkan mampu menjadi lokomotif dalam mendinamisir
perekonomian daerah. Konsep pengembangan pariwisata diarahkan pada pengembangan
keindahan alam dataran tinggi, dimana wisatawan selain dapat mendapatkan
ketengan batin, keunikan budaya dan keindahan alam juga ikut berpartisipasi
secara langsung dalam kegiatan konservasi lingkungan.
Kawasan
hutan yang rusak dikarenakan eksploitasi dan penebangan liar menyebabkan
terjadinya longsor di beberapa kawasan hutan Indonesia. Pada dasarnya peristiwa
tersebut merupakan peristiwa alami, akan tetapi akibat ulah manusia yang telah
membabat kayu hutan, baik untuk pemanfaatan nilai ekonomis maupun untuk
konversi lahan menjadi perkebunan, pemukiman, tambak maupun lokasi bangunan
liar. Kerusakan hutan pegunungan mempunyai dampak negatif antara lain
berkurangnya hasil hutan, semakin sulitnya memperoleh kayu yang berdiameter
besar, sulitnya mendapatkan madu, getah kemeyan, rotan dan sumber air. Sapta
pesona wisata terdapat beberapa yang berkaitan dengan lingkungan. Kebersihan,
keindahan, kenyamanan merupakan isi sapta pesona wisata yang berkaitan dengan
prinsip menjaga kelestarian lingkungan. Secara umum, kebijakan yang menjadi
landasan umum dalam setiap membuat rancangan pengembangan kawasan pariwisata
alam adalah menjaga agar tidak melampaui daya dukungnya.
Wisata
alam dapat menjadi pilihan utama untuk pengembangan wisata di kawasan hutan,
karena diyakini memiliki dampak yang kecil bagi lingkungan. Berbeda dengan
wisata massal atau buatan seringkali aktivitas wisatanya merugikan bagi
ekosistem lokal. Wisata alam memiliki nilai lebih dengan panorama alam yang di
dalamnya terkandung makna dan upaya untuk membangun kesadaran pengunjung untuk
mengenal pentingnya konservasi hutan dan lingkungan alam sekitarnya. Pengenalan
dilakukan dengan proses penyadaran secara langsung maupun tidak langsung
tentang pentingnya kelestarian alam untuk mendukung terwujudnya kepedulian
semua lapisan dan golongan masyarakat yang sadar akan lingkungan (Munawar dan
Nawir, 2018).
Peraturan
Menteri Kehutanan No.22/Permenhut-II/2012, kegiatan wisata alam adalah kegiatan
perjalanan atau sebagian perjalanan yang dilakukan secara sukarela bersifat
sementara untuk menikmati gejala keunikan dan keindahan alam di kawasan hutan.
Secara konsepsi, wisata alam dapat dilihat sebagai bentuk pemanfaatan dan
pengembangan pariwisata yang ditujukan untuk perlindungan dan konservasi alam
serta dapat memberikan manfaat ekonomi dan sosial kepada masyarakat.
Konsep
wisata alam memiliki dua prinsip yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Prinsip
perlindungan alam
Prinsip
konservasi yang berasaskan terhadap keanekaragaman hayati dan ekosistemnya.
Prinsip yang penting dalam kegiatan wisata alam, karena keberlanjutan wisata
alam sangat ditentukan kelestarian alam
itu sendiri.
2. Prinsip
pemberdayaan masyarakat
Prinsip
yang mengutamakan masyarakat lokal sebagai pelaku utama dalam pembangunan
wisata alam. Pembangunan ekonomi kerakyatan dapat menjadi landasan pembangunan
untuk merumuskan pemanfaatan dan pengembangan pariwisata alam.
Selain
itu, terdapat tiga aspek penying dalam pengembangan pariwisata dalam kawasan
hutan, yaitu :
1. Tersedianya
sarana dan infrastruktur yang memungkinkan wisatawan tidak melakukan hal hal
yang tidak terpuji seperti vandalisme, dapat dicegah dengan memberikan edukasi
dan pengawasan.
2. Mendidik
pengunjung, masyarakat sekitar dan pengelola untuk ikut melestarikan hutan.
3. Meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sekitar wisata untuk menghindari kecemburuan sosial
terhadap pelaku wisata dan tidak mengganggu kawasan hutan tersebut.
BAB III ANALISIS DAN
PEMBAHASAN
Peraturan
Menteri Kehutanan No 47 Tahun 2013 tentang Pedoman, Kriteria da Standar
Pemanfaatan Hutan di Wilayah tertentu pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung
dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi, dalam pasal 6 disebutkan bahwa salah
satu bentuk pemanfaatan hutan lindung dan produksi adalah pemanfaatan jasa
lingkungan. Salah satu bentuk pemanfaatan jasa lingkungan sebagaimana disebut
pada pasal 6 disebut dalam bentuk wisata alam. Wilayah tertentu antara lain
adalah wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum menarik bagi pihak
ketiga untuk mengembangkan pemanfaatannya berada diluar areal ijin pemanfaaatan
dan penggunaan kawasan hutan. Aturan Permen No 47 juga menyebut pengelolaan
jasa lingkungan sepenuhnya menjadi kewenangan Kesatuan Pengelolaan Hutan baik
lindung maupun produksi.
Peraturan
perundangan lain yang mengatur tentang pemanfaatan jasa lingkungan, masyarakat
dapat mengajukan pemanfaatannya sebagaimana tertuang dalam peraturan Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 83 tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.
Pasal 51 Permen LHK tersebut menyebutkan bahwa pemanfaatan jasa lingkungan
dalam bentuk wisata alam dapat dilakukan baik dalam hutan lindung maupun hutan
produksi sesuai dengan potensi yang dimiliki hutan tersebut.
Posisi
kritis dari kebijakan pengembangan pariwisata alam adalah tingkat implementasi
di wilayah lokal. Di tingkat lokal jasa penyediaan wisata dan permintaan
bertemu. Dalam pengembangan wisata
dihutan terdapat 4 instansi yang berwenang dalam pengelolaan dan membuat
kebijakan perundang – undangan tengtang wisata. Kementerian tersebut meliputi :
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pariwisata, Kementerian
Dalam Negeri dan Kementerian Perikanan dan Kelautan (Nasution et all, 2018).
Berbagai
regulasi tentang kepariwisataan masih terdapat perbedaan tumpang tindih antar
kebijakan baik tujuan maupun kewenangan pariwisata. Kejelasan tujuan dan ruang
lingkup dalam pengatura perundangan wisata alam perlu dilakukan secara komprehensif
dan terstruktur sehingga dinamika substansi yang terkandung dalam undang –
undang tersebut tidak bersifat parsial. Dalam pembangunan wisata, kebijakan dan
peraturan ekowisata di Indonesia menjadi sangat penting untuk dikaji dan
dianalisis sebagai bentuk kesempurnaan regulasi menuju implementasi pembangunan
kepariwisataan yang berkelanjutan.
Pemerintah
mempunyai kepentingan untuk memperoleh pendapatan negara melalui berbagai pajak
dan retrebusi dari suatu kegiatan pengusahaan hutan, namun demikian kebutuhan
akan pengumpulan pendapatan negara melalui pajak dan retrebusi tersebut tentu
tidaklah menjadi penghalang bagi terwujudnya suatu pengusahaan hutan yang
terintegrasi sesuai dengan sifat dna kondisi ekologi suatu hutan yang dimana
satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. (Darussman et all,2013).
Peran
Pemerintah dalam penyediaan anggaran untuk modal usaha, promosi wisata, sarana
dan prasarana maupun akses jaringan kerjasama usaha berpengaruh nyata erhadap
efektivitas program HKm berbasis wisata alam. Berdasarkan Perdirjen PSKL Nomor
P.2/PSKL/SET/KUM.1/3/2017 tentang Pedoman Pembinaan, Pengendalian dan Evaluasi
Perhutanan Sosial, pemerintah pusat berperan dalam penyelenggaraan pembinaan
sedangkan pemerintah provinsi berperan dalam memfasilitasi pembinaan HKm
dimaksud (penyediaan anggaran modal usaha, promosi, sarpras maupun akses
jaringan kerja sama).
Pemerintah
pusat perlu meningkatkan perannya dalam penyediaan anggaran usaha dan sarpras,
sertapeningkatan kapasitas penyuluh kehutanan. Adapun pemerintah provinsi lebih
kepada pendampingan, pelatihan, promosi usaha wisata bagi kelompok HKm dan
membangun komunikasi yang intensif dengan sektor pariwisata dan pemerintah
desa. Lebih lanjut, peran pembinaan ini harus dikoordinasikan agar berjalan
secara sinergis antar jenjang pemerintahan. Oleh sebab itu, diperlukan komitmen
(Meta et al. 2018) dan dukungan anggaran yang optimal. Peran pemerintah
sebagaimana diatur dalam peraturan tersebut belum berjalan optimal. Keterbatasan
anggaran dan SDM serta minimnya koordinasi antarsektor terkait menjadi kendala
tersendiri. Berkenaan dengan hal tersebut, maka pemerintah perlu mengupayakan
dukungan anggaran dari sumber pihak ketiga seperti dana Corporate Social
Responsibility (CSR) maupun LSM, selain dari anggaran sektor kehutanan dan
pariwisata. Oleh sebab itu, diperlukan penguatan komunikasi dan koordinasi
antar sektor maupun antar jenjang pemerintahan. Dukungan tersebut harus
diarahkan pada penguatan kelembagaan, kewirausahaan (Sanudin et al. 2016) dan
pengelolaan hutan serta wisata alam bagi kelompok HKm.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Kebijakan
pengembangan obyek wisata di dalam hutan harus dilakukan secara baik dan terencana
yang memprioritaskan masyarakat lokal danmasyarakat pada umumnya yang didukung pemerintah daerah
untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dampak sosial terhadap masyarakat
adalah perubahan
kondisi wilayah
yang tadinya sepi
menjadi ramai yang
menyebabkan perubahan sosial masyarakat, perubahan lingkungan sosial. Dampak
ekonomi masyarakat yang timbul
adalah masyarakat memiliki kemampuan
untuk usaha mandiri
dengan bantuan dari pemerintahsehingga kebocoran
ekonomi dapat dihindari. Dampak prilaku masyarakat
yang ditimbulkan adalah
respon pelaku wisata
lokal terhadap pelaku non lokal
terjalin baik yang saling melengkapi dan saling menguntukkan. Maka dari itu
diperlukan keharmonisasian kebijakan dan peraturan yang dibuat dari berbagai
instansi yang terlibat dalam pengelolaan wisata di dalam hutan.
DAFTAR PUSTAKA
Darussman
D, Avenzora R dan Nitibaskara U Tb. 2013. Optimalisasi manfaat
hutan
produksi melalui ekowisata. Bogor. IPB.
Meta
Y, Basuni S, Rusdiana O. 2018. Implementation effectiveness of water
utilization
permit grants In Gunung Halimun Salak National Park.
Jurnal Media Konservasi. 23(1): 37-42.
Munawar
A dan Nawir. 2016. Potensi wisata alam dalam kawasan hutan,
pemanfaatan
dan pengembangan studi kasus di Kaabupaten Maros Sulawesi Selatan.
Buku. Inti Mediatama.
Nasution
RH, Avenzora R dan Sunarminto T. 2018. Analisis kebijakan dan
peraturan
perundang – undangan ekowisata di Indonesia. Jurnal Media
Konservasi.
23 (1) : 9 – 17 .
Sanudin
S, Awang SA, Sadono R, Purwanto RH. 2016. Perkembangan hutan
kemasyarakatan
di Provinsi Lampung (Progress of community forest in Lampung Province).
Jurnal Manusia dan Lingkungan. 23(2): 276-283.
Simamora
RK dan Sinaga RS. 2016. Peran pemerintah daerah dalam
pengembangan
pariwisata alam dan budaya di Kabupaten Tapanuli Utara. Jurnal Ilmu
Pemerintahan dan sosial politik. 4 (1) : 79 – 96.
Syahadat.
2006. An Analysis of Gede Pangrango National Park (GNPN)
Management
strategy for natural tourism development in forest area.
Jurnal e-forda. 1 -27.